ABSTRAK
Hibah daerah merupakan salah satu alternatif belanja pemerintah pusat untuk membiayai penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dan
mendukung secara langsung pembangunan di daerah yang dilaksanakan dalam kerangka hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemberian
hibah kepada pemerintah daerah tersebut sejalan dengan amanat dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa selain mengalokasikan Dana
Perimbangan (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus), pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah
daerah atau sebaliknya.
Hibah daerah dari sisi belanja pemerintah didefinisikan sebagai pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari pemerintah atau pihak lain kepada
pemerintah daerah atau sebaliknya yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian. Hibah daerah dapat diberikan dalam
bentuk uang, barang, dan/atau jasa dan dapat bersumber dari penerimaan dalam negeri (APBN murni), pinjaman luar negeri, dan hibah luar negeri.
BAB 2
Hukum Perdata
1.
Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
1.1
Sejarah Singkat Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Bermula di Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum Tertulis dan Hukum Kebiasaan setempat. Diterimanya
Hukum Perdata Romawi pada saat itu dikarenakan keadaan hukum di Eropa yang sedang kacau-balau sehingga tidak ada kepastian hukum dan pada akhirnya orang
mencari jalan keluar untuk mendapatkan kepastian hukum. Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan
yang bernama “Code Civil des Francais”. Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland distukan dengan Perancis pada tahun 1811, Code Civil des
Francais ini tetap berlaku di Belanda (Nederland). Lalu, setelah kemerdekaan Belanda dari Perancis, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan
kodifikasi dari hukum Perdatanya. Dan tepat pada 5 Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek Van
Koophandle). Dan pada tahun 1948, kedua Undang-Undang tersebut diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum). Sampai
sekarang kita kenal denngan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW. Sedangkan KUH Dagang untuk WVK.
Dalam Hukum Hibah Daerah, KUHP atau BW merupakan bagian dari hukum perjanjian dan digolongkan perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu diwaktu
hidupnya. Hibah dalam KUH Perdata sendiri bukan diambil dari codex justinianus carpus juris civilis yang menurut para sejarah sebagai sumber hukum modern
dan bukan pula hibah dan wasiat diambil dari kitab undang-undang hasil imajinasi napolion yang dimuat dalam codex napolion yang merupakan asal usul KUH
perdata (BW), tetapi codex napolion justru ide dasarnya ditranformasikan dari kitab fiqih karya imam Asy-Syarkowi yang kemudian dalam aplikasinya terdapat
perbedaan yang mendasar antara hibah dalam KUH Perdata dengan hibah dalam hukum Islam.
1.2
Pengertian dan Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan
Yang dimaksud Hibah daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah dalam/luar negeri, badan/lembaga dalam/luar negeri atau
perseorangan yang tidak perlu dibayar kembali, Penerimaan ini bersifat tidak mengikat sehingga tidak dapat mempengaruhi kebijakan daerah.
Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Hukum Perdata di Indonesia bersifat majemuk atau beranekaragam. Penyebab keanekaragaman tersebut dikarenakan 2 faktor, yaitu:
1. Faktor Ethnis, disebabkan karena keaneka ragaman Hukum Adat di Indonesia karena Negara kita ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
2. Faktor Hostia Yuridis, dapat kita lihat pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia menjadi 3 golongan, yaitu:
· Golongan Eropa dan yang dipersamakan
· Golongan Bumi Putera
· Golongan Timur Asing
1.3
Sistematika Hukum Perdata
Sistematika Hukum Perdata kita (BW) ada dua pendapat. Pendapat yang pertama yaitu, dari pemberlakuan Undang-Undang, berisi:
· Buku I
Berisi tentang orang. Didalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
· Buku II
Berisi tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
· Buku III
Berisi tentang hal perikatan. Didalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
· Buku IV
Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Didalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya kadaluwarsa itu.
Pendapat yang kedua yaitu menurut Ilmu Hukum / Doktrin dibagi dalam 4 bagian, yaitu:
· Hukum tentang Diri Seseorang (Pribadi).
Mengatur manusia sebagai subyek dalam Hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri.
· Hukum Kekeluargaan.
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
· Hukum Kekayaan.
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dinilai dengan uang.
· Hukum Warisan.
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal.
Hukum Hibah Daerah termasuk dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang perikatan. Dalam KUH Perdata diatur bahwa hibah hanya
boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibangan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup banrang-barang yang belum ada, maka
penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada.
BAB 3
Hukum Kebendaan
1.
Hak Eigendom atas Tanah menurut B.W.
Peraturan-peraturan B.W. yang mengatur mengenai hak eigendom dan hak-hak lain atas tanah pada umumnya hanya berlaku bagi warga Negara Indonesia yang
berbangsa Eropa, Tionghoa, Arab dan Timur Asing lain. Akan tetapi hak eigendom dan hak-hak lain atas tanah menurut B.W. dapat dimiliki juga oleh orang
Indonesia asli, yaitu cara jual beli, tukar menukar, penghibaan, warisan, dan lain sebagainya. Orang-orang Indonesia asli amat perlu tahu mengenai
peraturan B.W. mengenai hak eigendom dan hak lain-lain.
Pasal 570 B.W. menggambarkan hak eigendom sebagai suatu hak yang mempunyai dua unsur, yaitu:
1. Hak untuk memungut hasil atau kenikmatan sepenuhnya dari barang.
2. Hak untuk menguasai barang itu secara seluas-luasnya, seperti menjual, menukarkan, menghibahkan, dan lain sebagainya.
Dan seperti halnya juga dengan hak milik (pada hakikatnya), dalam Pasal 570 B.W. itu dilakukan, bahwa hal mempergunakan barang eigendom itu ada batasnya
yang terletak pada undang-undang tertentu, pada ketentuan bahwa hak-hak orang lain tidak boleh terdesak, dan pada kemungkinan pencabutan hak eigendom
berdasarkan atas kepentingan umum.
Sifat Perbedaan (Zakelijk karakter)
Hak perbedaan ialah hak perseorangan (persoonlijk recht) atas suatu benda, seperti misalnya hak sewa. Hak sewa bagi yang menyewakan dan sipenyewa memiliki
hak yang berbeda. Hak bagi yang meyewakan tersebut memiliki hak untuk meminta bayaran kepada sipenyewa atas benda yang disewakan. Sementara hak sipenyewa
yaitu menggunakan benda yang disewakan tersebut sesuai dengan ketentuan.
Dalam Hukum Hibah Hadiah perbedaan sifat yang terjadi adalah.sebagai penghibah dan penerima hibah, dimana Pemerintah (Presiden) sebagai pemberi hibah dan
Pemerintah Daerah sebagai penerima hibah
Sifat Mutlak (Absoluut karakter)
Hak eigendom dan hak-hak lain yang diatur dalam buku II B.W. adalah bersifat mutlak dalam arti bahwa hak-hak ini dapat diperlakukan terhadap siapapun juga
yang mengganggu terlaksakannya hak-hak itu. Sedangkan dalam hal tegor oleh sipemilik eigendom, supaya menegor si pengganggu itu. Sifat mutlak ini juga
terdapat hak-hak yang bukan hak perbedaan seperti hak pengarang, hak oktroi, dan hak cipta dagang. Hak-hak semacam ini dikatakan sebagai hak monopoli dan
dapat dipertahankan terhadap setiap orang pengganggu.
Hukum Hibah Daerah tidak termasuk kedalam sifat mutlak (Absoluut Karakter), kareana hokum hibah daerah termasuk dalam buku III.
Pembatasan Hak Eigendom
Pembatasan hak eigendom terdapat 2 macam, yaitu:
1. Berdasarkan atas hak-hak orang lain.
2. Berdasarkan atas suatu penentuan belaka dari Undang-undang.
2.
Hak-hak Lain atas Tanah menurut B.W.
Tentang hubungan hak-hak lain dengan hak milik atas tanah menurut Hukum Adat, dikatakan bahwa, biasanya disamping hak-hak atas sebidang tanah ada orang
lain atau persekutuan yang mempunyai hak milik atas tanah juga dalam sistem B.W. selalu ada pemilik eigendom atas sebidang tanah sebab pasal 520 B.W.
menentukan, bahwa tanah-tanah yang tidak dipelihara dan tidak ada “eigenar” nya adalah kepunyaan Negara. Kalau hak lain sangat kuat, artinya pada wujud
pelaksanaanya tidak berbeda dengan hak eigendom, maka hak eigendom hak tanah itu sangat terpendam, dan baru muncul lagi kalau hak lain terhenti.
Tentang hak “bezit” dikatakan, bahwa perhubungannya dengan hak eigendom adalah sedikit berlainan, yaitu “eigenaar” dapat sekaligus menjadi “bezitter”.
Hak Bezit
Soal bezit yaitu soal istimewa dari B.W. yang tiada taranya dalam Hukum Adat. Keistimewaan hak peraturan hukum bezit ini, terletak pada hal bahwa, hukum
melindungi keadaan suatu bidang tanah yang belum tentu berdasar atas suatu hak sejati. Perlindungan ini kalau perlu berhadap-hadapan dengan seorang yang
nyata yang mempunyai hak sejati itu, yaitu si pemilik eigendom sejati.
Gugatan yang Melekat pada Hak Bezit
Ada dua macam gugatan bezit, yaitu:
1. Dalam hal seorang Bezier dipaksa oleh seorang lain untuk melepaskan penguasaan atas hak tanah yang dipegang. (pasal 563 B.W.)
2. Dalam hal seorang Bezier, selama menguasai tanah yang dipegang, terganggu oleh perbuatan orang lain, yang bersifat menguasai juga, tetapi tidak dengan
paksaan.
Hak Orang Tetangga (Burenrecht = Hukum bagi Orang-orang Tetangga)
Peraturan B.W. yang mengenai orang0orang tetangga diantara orang-orang tetangga diantara pemilik-pemilik pekarangan. Adalah contoh dari perakitan yang
berumber melulu dari undang-undang.
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat. Orang-orang ini dalam hidupnya sehari-hari selalu
bergaul satu sama lain. Pergaulan ini sudah sewajarnya sering terlihat diantara orang-orang pemilik pekarangan, yang saling merupakan tetangga satu sama
lain. Orang-orang satu sama lain mempunyai berbagai kepentingan dalam menggunakan pekarangan. Namun, kepentingan tersebut tidak selalu dapat dipuaskan
dengan tidak memperkosa kepentingan tetangga.
Karena itu, dengan sendirinya harus diakui bahwa ada kepentingan seseorangan maka seharusnya dibatasi dalam hal memuaskannya, disinilah terletak prinsip
saling harga menghargai terhadap pelbagai kepentingan tetangga sehingga lahirlah lalu llintas kesusilaan ini diantara orang-orang tetangga, lalu lintas
kesusilaan ini menciptakan pelbagai larangan dan/atau suruhan untuk melakukan suatu hal.
Pada umunya, kalau seorang tetangga dengan sengaja melanggar lalu lintas kesusilaan ini, dan ia dengan pelanggaran itu merugikan orang lain, maka orang itu
sudah dapat digugat didepan hakim.
Pembebanan Pekarangan (“efdientbaarheden,” “servituten”)
Pembebanan pekarangan ini oleh pasal 674 ayat 1 B.W. disebut sebagai suatu beban, yang diletakkan pada sebidang pekarangan untuk pemakaian untuk keperluan
pekarangan lain, milik orang lain. Ayat 2 menekankan, bahwa pembebanan ini tidak boleh diadakan kepada perseorangan dan juga tidak boleh diadakan untuk
keperluan perseorangan. Penyebutan arti semacam ini, mengakibatkan adanya suatu hak perbedaan yang tidak diberikan kepada manusia atau kepada badan hukum,
melainkan kepada suatu benda, yaitu kepada sebidang pekarangan yang disebut sebagai pekarangan yang menguasai, sedangkan pekarangan yang mendapat beban
disebut dengan pengarangan yang menderita atau yang mengabdi.
Hak Erfpcht
Hak erfpcht dalam pasal 720 B.W. digambarkan sebagai hak untuk menikmati hasil dari sebidang tanah milik orang lain secara luas-luasnya, dengan kewajiban
membayar setiap tahun sejumlah uang atau sejumlah hasil bumi kepada pemilik tanah selaku pengakuan hak eigendom pemilik itu.
Jadi, seseorang yang menikmati hasil dari sebidang tanah yang dimiliki seorang eigendom harus membayar sejumlah uang atas hasil dari sebidang tanah
tersebut, ia hanya membayar kepada pemilik tanah tersebut tanpa harus membayar pajak kepada Negara. Karena, pajak tersebut dikenakan kepada pemilik tanah
tersebut sesuai diatur dalam UU N0.12 tahun 1995.
Hak Opstal
Pasal 711 B.W. mulai dengan mengatakan, bahwa hak postal adalah suatu hak perbedaan untuk mempunyai rumah-rumah, bangunan dan tanaman-tanaman diatas tanah
milik orang lain. Sama halnya dengak hak erfpcht, namun pembebanan PBB dibayarkan oleh orang yang menggunakan rumah-rumah, bangunan dan tanaman-tanaman tersebut. Bukan orang
yang memilikinya yang membayar,
Hak Vruchtgebruik (Hak Memungut Hasil)
Menurut pasal 756 B.W. hak memungut hasil ini adalah suatu hak perbendaan untuk memungut hasil dari suatu benda, seolah-olah mempunyai hak eigendom atas
barang itu, asal saja jangan sampai barang itu musnah. Perbedaan dengan hak efrpcht hanya terletak pada tanah dan barang lain yang tak berge,rak, sedangkan
hak vruchgebruik dapat mengenai barang bergerak. Dan perbedaan yang lebih penting terdapat pada pasal 807 B.W. bahwa hak ini tidak dapat diwarisi.
Hak Pengurus Barang (Bewindvoerder)
Adakalanya seorang pihak ketiga ditentukan untuk mengurus barang-barang yang berada dalam pembebanan hak vruchtgebruk, yaitu:
a. Apabila ditentukan pada terbentuknya hak vruchtgebruik oleh si pemberi hak vruchtgebruik dalam surat hibah wasiat atau dalam membentuk persetujuan
antara si pemilik dan si pemungut hasil.
b. Apabila itu ditentukan oleh Hakim, kalau si pemungut hasil yang tidak mengadakan jaminan (pasal 786) atau kalau ia mengecewakan dalam hal mempergunakan
hak vruchtgebruik secara merusak barang atau membiarkan barangnya tidak terpelihara (pasal 815 atau pasal 816 B.W.)
Hak Memakai dan Mendiami (gebruik en bewoning)
Disebutkan dua hal, yaitu memakai dan mendiami. Tetapi sebetulnya yang dimaksudkan ialah hak memakai saja. Kalau hak ini mengenai rumah kediaman, maka hak
memakai ini dinamakan hak mendiami. Untuk mudahnya hanya disebut hak memakai saja.
Bunga Tanah
Menurut pasal 737 B.W. bunga tanah ini adalah suatu kewajiban seorang pemilik tanah untuk membayar setiap jangka waktu tertentu sejumlah uang dan sejymlah
hasil bumi, selaku bunga kepada orang lain. Hak orang lain itu, akan membayar bunga ini, menurut pasal 739 B.W. melekat pada tanah. Artinya, tetap berada,
meskipun tanahnya dijual kepada orang ketiga. Jada, sipembeli tanah juga berkewajiban untuk melakukan pembayaran bunga itu.
Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat
Undang-undang Darurat tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh Rakyat no. 8 tahun 1954 yang mulai berlaku pada tanggal 12-6-1954
memungkinkan hak atas suatu tanah perkebunan dicabut oleh pemerintah dengan pemberian ganti kerugian yang ditetapkan. Kemudian diberikan dengan satu hak
kepada “rakyat dan penduduk lainnya,” yang memenuhi syarat, menurut ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria (pasal 11). Tindakan seperti ini
dimaksudkan akan dilakukan di daerah-daerah, dimana tanah-tanah perkebunan de facto dikuasai oleh rakyat. Dalam hal ini menurut Undang-Undang Darurat
tersebut, semua harus dirundingkan dulu antara Pemilik Perkebunan dan Rakyat tentang penyelesaian soal pemakaian tanah itu secara damai. Kalau itu tidak
mungkin maka pemerintah akan bertindak.
BAB 4
Hukum Perikatan dan Perjanjian
1.
Perihal Perikatan dan Sumber-sumbernya
Yang dimaksud dengan “perikatan” ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut
barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak yang
berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang “debitur”. Adapun barang yang dapat dituntut disebut
dengan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa:
1) Menyerahkan suatau barang
2) Melakukan suatu perbuatan
3) Tidak melakukan suatu perbuatan
Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang, diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari
undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang
diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.
Hukum Hibah Daerah itu sendiri juga menimbulkan suatu perikatan. Yang mana sudah dijelaskan bahwa “perikatan” ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan
harta benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya. Begitu juga halnya dengan Hibah Daerah,
dimana Pemerintah (Presiden) sebagai pemberi Hibah dan Pemerintah Daerah sebagai penerima Hibah sebagaimana telah diatur dalam PP No. 57 tahun 2005.
2.
Macam-macam Perikatan
a) Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
b) Perikatan yang Digantungkan Pada Suatu Ketetapan Waktu (Tijdsbepaling)
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan
terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya.
c) Perikatan yang Membolehkan Memilih (Alternatif)
Suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.
d) Perikatan Tanggung Menanggung (Hoofdelijk atau Solidair)
Suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa
orang yang bersama-sama menghadapai satu orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi
jika salah satu dari mereka melunasi hutang maka pelunasan tersebut juga membebasi yang lainnya.
e) Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula pada kehendak atau maksud
kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka. Jika salah satu pihak
telah digantikan oleh beberapa orang lain. Biasanya dapat terjadi karena meninggal maka menyebabkan ia digantikan oleh ahli warisnya.
f) Perikatan dengan Penetapan Hukuman
Untuk mencegah si berhutang melalaikan kewajibannya, maka dalam perjanjian dinyatakan bahwa bila si berhutang melalaikan kewajibannya maka akan dikenakan
hukuman.
Begitu pula Hukum Hibah Daerah, dimana dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dicantumkan Sanksi atau hukuman sesuai dengan kesepakatan apabila pihak
ke dua yaitu sipenerima hibah melanggar pasal yang tertera di dalam NPHD. NPHD bersumber dari dalam negri yang mana isi dari NPHD sekurang-kurangnya memuat
tentang: Tujuan Hibah; Jumlah Hibah; Sumber Hibah; Penerima; Persyaratan Hibah; Tatacara Penyaluran Hibah; Tatacara Penggunaan Hibah; Tatacara Pelaporan
dan Pemantauan Hibah; Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Hibah; Sanksi Hibah.
3.
Syarat-Syarat untuk Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan empat syarat, yaitu:
1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3) Suatu hal tertentu.
4) Suata sebab yang halal.
Untuk sahnya perjanjian hibah daerah termasuk dalam PP No.22 Tahun 2012 BAB V Perjanjian Hibah Pasal 15 dan 16 yaitu:
1) Pernjanjian hibah daerah ditandatangani antara menteri atau pejabat yang diberi kuasa dan Gubernur atau Bupati/Walikota atau pejabat yang diberi kuasa.
2) Perjanjian penerusan hibah ditandatangani antara menteri atau pejabat yang diberi kuasa dan Gubernur atau Bupati/Walikota atau pejabat yang diberi
kuasa.
3) Perjanjian hibah daerah ditandatangani antara kepala daerag atau pejabat yang diberi kuasa.
4) Perjanjian penerusan hibah daerah setidaknya memuat tujuan, jumlah, penerima, sumber, persyaratan, tata cara penyaluran dan pemantauan, hak dan
kewajiban pemberi dan penerima, dan sanksi.
4.
Pembatalan Suatu Perjanjian
Dalam syarat-syarat sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa, apabila satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi
hukum. Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang
bermaksud membuat perjanjian tersebut. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Maka salah satu
pihak tidak dapat menuntut didepan hakim karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan untuk menyatakan bahwa tidak pernah ada perikatan atau
perjanjian.
Apabila, dalam membuat perjanjian ada yang kurang mengenai syarat subjektif maka perjanjian itu bukan batal demi hukum namun dapat diminta pembatalannya
oleh salah satu pihak.
Tentang suatu perjanjian yang tidak mengandung suatu syarat tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena
tidak terang apa yang dijanjikan oleh kedua belah pihak.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak ada ketentuan yang memberikan pembatasan tentang hibah yang diberikan si pemberi hibah sebagaimana yang
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Pada prinsipnya hibah yang telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain tidak dapat ditarik kembali atau
dibatalkan, kecuali dalam hal-hal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1688 KUHPerdata, yaitu :
1) Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah.
2) Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri.
3) Jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya
5.
Saat dan Lahirnya Perjanjian
Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik terjadinya setuju atau sepakat antar dua belah pihak mengenai suatu hal. Sepakat adalah
persesuaian paham dan kehendak antar kedua belah pihak.
Sama halnya dengan Hibah Daerah. Perjanjian hibah daerah lahir pada saat terjadinya setuju atau sepakat antar kedua belah pihak mengenai perjanjian
tersebut.
6.
Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah sebuah peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana kedua orang atau lebih telah berjanji untuk melaksanakan
sesuatu.
Perjanjian-perjanjian dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1) Perjanjian untuk memberikan menyerahkan suatu barang.
2) Perjanjian untuk membuat sesuatu.
3) Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian hibah daerah termasuk dalam perjanjian untuk menyerahkan suatu barang yaitu menghibahkan suatu barang dari pemerintah kepada pemerintah daerah.
7.
Wanprestasi
Apabila si berhutang tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka disebut dengan “wanprestasi”. Atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu
apabila ia melakukan sesuatu yang tudak diperbolehkan dalam perjanjian. Wanprestasi debitur dapat berupa empat macam, yaitu:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
3) Melakukan apa yang dijanjikannya namun terlambat.
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjiannya tidak boleh dilakukannya.
Terhadap kealpaan atau kelalaian siberhutang, maka ia akan dikenakan sanksi atau hukuman. Sama halnya dengan hibah daerah, jika pemberi dan penerima hibah
melanggar ketentuan yang berlaku dalam surat perjanjian maka mereka akan dikenakan sanksi yang telah dibuat dan disepakati dalam surat perjanjian tersebut.
8.
Cara-cara Hapusnya Suatu Perikatan
Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara menghapuskan suatu perikatan. Cara-cara tersebut yaitu:
1) Pembayaran.
2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan.
3) Pembaharuan hutang.
4) Perjumpaan hutang atau kompensasi.
5) Percampuran hutang.
6) Pembebasan hutang.
7) Musnahnya barang yang terhutang.
8) Kebatalan atau pembatalan.
9) Berlakunya suatu syarat batal.
10) Lewatnya waktu.
Referensi:
Buku Aspek Hukum Dalam Ekonomi
http://www.kemendagri.go.id/produk-hukum/2005/12/09/peraturan-pemerintah-nomor-57-tahun-2005
Diakses pada tanggal 13 April 2016
https://id.scribd.com/doc/125223046/hukum-hibah
Diakses Pada Tanggal 2016
