Selasa, 19 April 2016

Memberi Tanpa Pamrih

ABSTRAK
Hibah daerah merupakan salah satu alternatif belanja pemerintah pusat untuk membiayai penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dan mendukung secara langsung  pembangunan di daerah yang dilaksanakan dalam kerangka hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan  pemerintah daerah. Pemberian hibah kepada pemerintah daerah tersebut sejalan dengan amanat dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa selain mengalokasikan Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil,  Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus), pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah atau sebaliknya.

Hibah daerah dari sisi belanja pemerintah didefinisikan sebagai pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari pemerintah atau pihak lain kepada pemerintah daerah atau sebaliknya yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian. Hibah daerah dapat diberikan dalam bentuk uang, barang, dan/atau jasa dan dapat  bersumber dari penerimaan dalam negeri (APBN murni), pinjaman luar negeri, dan hibah luar negeri.


BAB 2

Hukum Perdata
1.      Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
1.1  Sejarah Singkat Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Bermula di Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum Tertulis dan Hukum Kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada saat itu dikarenakan keadaan hukum di Eropa yang sedang kacau-balau sehingga tidak ada kepastian hukum dan pada akhirnya orang mencari jalan keluar untuk mendapatkan kepastian hukum. Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Code Civil des Francais”. Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland distukan dengan Perancis pada tahun 1811, Code Civil des Francais ini tetap berlaku di Belanda (Nederland). Lalu, setelah kemerdekaan Belanda dari Perancis, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum Perdatanya. Dan tepat pada 5 Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek Van Koophandle). Dan pada tahun 1948, kedua Undang-Undang tersebut diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum). Sampai sekarang kita kenal denngan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW. Sedangkan KUH Dagang untuk WVK.

Dalam Hukum Daerah, KUHP atau BW merupakan bagian dari hukum perjanjian dan digolongkan perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu diwaktu hidupnya. Hibah dalam KUH Perdata sendiri bukan diambil dari codex justinianus carpus juris civilis yang menurut para sejarah sebagai sumber hukum modern dan bukan pula hibah dan wasiat diambil dari kitab undang-undang hasil imajinasi napolion yang dimuat dalam codex napolion yang merupakan asal usul KUH perdata (BW), tetapi codex napolion justru ide dasarnya ditranformasikan dari kitab fiqih karya imam Asy-Syarkowi yang kemudian dalam aplikasinya terdapat perbedaan yang mendasar antara hibah dalam KUH Perdata dengan hibah dalam hukum Islam.

1.2  Pengertian dan Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan didalam masyarakat. Yang memiliki arti luas yaitu meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana. Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) merupakan hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan didalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa didalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal balik. Disamping itu, terdapat juga Hukum Perdata Formil yang dikenal dengan HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek dilingkungan perdata.

Yang dimaksud Hibah daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah dalam/luar negeri, badan/lembaga dalam/luar negeri atau perseorangan yang tidak perlu dibayar kembali, Penerimaan ini bersifat tidak mengikat sehingga tidak dapat mempengaruhi kebijakan daerah.

Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Hukum Perdata di Indonesia bersifat majemuk atau beranekaragam. Penyebab keanekaragaman tersebut dikarenakan 2 faktor, yaitu:
  1. Faktor Ethnis, disebabkan karena keaneka ragaman Hukum Adat di Indonesia karena Negara kita ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
  2. Faktor Hostia Yuridis, dapat kita lihat pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia menjadi 3 golongan, yaitu:

·         Golongan Eropa dan yang dipersamakan
·          Golongan Bumi Putera
·         Golongan Timur Asing

1.3  Sistematika Hukum Perdata
Sistematika Hukum Perdata kita (BW) ada dua pendapat. Pendapat yang pertama yaitu, dari pemberlakuan Undang-Undang, berisi:
·         Buku I
Berisi tentang orang. Didalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
·         Buku II
Berisi tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
·         Buku III
Berisi tentang hal perikatan. Didalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
·         Buku IV
Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Didalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya kadaluwarsa itu.

Pendapat yang kedua yaitu menurut Ilmu Hukum / Doktrin dibagi dalam 4 bagian, yaitu:
·         Hukum tentang Diri Seseorang (Pribadi).
Mengatur manusia sebagai subyek dalam Hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri.
·         Hukum Kekeluargaan.
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
·         Hukum Kekayaan.
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum  yang dinilai dengan uang.
·         Hukum Warisan.
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal.    


BAB 3
Hukum Kebendaan
1.      Hak Eigendom atas Tanah menurut B.W.
Peraturan-peraturan B.W. yang mengatur mengenai hak eigendom dan hak-hak lain atas tanah pada umumnya hanya berlaku bagi warga Negara Indonesia yang berbangsa Eropa, Tionghoa, Arab dan Timur Asing lain. Akan tetapi hak eigendom dan hak-hak lain atas tanah menurut B.W. dapat dimiliki juga oleh orang Indonesia asli, yaitu cara jual beli, tukar menukar, penghibaan, warisan, dan lain sebagainya. Orang-orang Indonesia asli amat perlu tahu mengenai peraturan B.W. mengenai hak eigendom dan hak lain-lain.
Pasal 570 B.W. menggambarkan hak eigendom sebagai suatu hak yang mempunyai dua unsur, yaitu:
  1. Hak untuk memungut hasil atau kenikmatan sepenuhnya dari barang.
  2. Hak untuk menguasai barang itu secara seluas-luasnya, seperti menjual, menukarkan, menghibahkan, dan lain sebagainya.

Dan seperti halnya juga dengan hak milik (pada hakikatnya), dalam Pasal 570 B.W. itu dilakukan,  bahwa hal mempergunakan barang eigendom itu ada batasnya yang terletak pada undang-undang tertentu, pada ketentuan bahwa hak-hak orang lain tidak boleh terdesak, dan pada kemungkinan pencabutan hak eigendom berdasarkan atas kepentingan umum.

Sifat Perbedaan (Zakelijk karakter)
Hak perbedaan ialah hak perseorangan (persoonlijk recht) atas suatu benda, seperti misalnya hak sewa. Hak sewa bagi yang menyewakan dan sipenyewa memiliki hak yang berbeda. Hak bagi yang meyewakan tersebut memiliki hak untuk meminta bayaran kepada sipenyewa atas benda yang disewakan. Sementara hak sipenyewa yaitu menggunakan benda yang disewakan tersebut sesuai dengan ketentuan.

Dalam Hukum Hibah Hadiah perbedaan sifat yang terjadi adalah.sebagai penghibah dan penerima hibah, dimana Pemerintah (Presiden) sebagai pemberi hibah dan Pemerintah Daerah sebagai penerima hibah

Sifat Mutlak (Absoluut karakter)
Hak eigendom dan hak-hak lain yang diatur dalam buku II B.W. adalah bersifat mutlak dalam arti bahwa hak-hak ini dapat diperlakukan terhadap siapapun juga yang mengganggu terlaksakannya hak-hak itu. Sedangkan dalam hal tegor oleh sipemilik eigendom, supaya menegor si pengganggu itu. Sifat mutlak ini juga terdapat hak-hak yang bukan hak perbedaan seperti hak pengarang, hak oktroi, dan hak cipta dagang. Hak-hak semacam ini dikatakan sebagai hak monopoli dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang pengganggu.

Pembatasan Hak Eigendom
Pembatasan hak eigendom terdapat 2 macam, yaitu:
  1. Berdasarkan atas hak-hak orang lain.
  2. Berdasarkan atas suatu penentuan belaka dari Undang-undang.


2.      Hak-hak Lain atas Tanah menurut B.W.
Tentang hubungan hak-hak lain dengan hak milik atas tanah menurut Hukum Adat, dikatakan bahwa, biasanya disamping hak-hak atas sebidang tanah ada orang lain atau persekutuan yang mempunyai hak milik atas tanah juga dalam sistem B.W. selalu ada pemilik eigendom atas sebidang tanah sebab pasal 520 B.W. menentukan, bahwa tanah-tanah yang tidak dipelihara dan tidak ada “eigenar” nya adalah kepunyaan Negara. Kalau hak lain sangat kuat, artinya pada wujud pelaksanaanya tidak berbeda dengan hak eigendom, maka hak eigendom hak tanah itu sangat terpendam, dan baru muncul lagi kalau hak lain terhenti.

Tentang hak “bezit” dikatakan, bahwa perhubungannya dengan hak eigendom adalah sedikit berlainan, yaitu “eigenaar” dapat sekaligus menjadi “bezitter”.

Hak Bezit
Soal bezit yaitu soal istimewa dari B.W. yang tiada taranya dalam Hukum Adat. Keistimewaan hak peraturan hukum bezit ini, terletak pada hal bahwa, hukum melindungi keadaan suatu bidang tanah yang belum tentu berdasar atas suatu hak sejati. Perlindungan ini kalau perlu berhadap-hadapan dengan seorang yang nyata yang mempunyai hak sejati itu, yaitu si pemilik eigendom sejati.

Gugatan yang Melekat pada Hak Bezit
Ada dua macam gugatan bezit, yaitu:
  1. Dalam hal seorang Bezier dipaksa oleh seorang lain untuk melepaskan penguasaan atas hak tanah yang dipegang. (pasal 563 B.W.)
  2. Dalam hal seorang Bezier, selama menguasai tanah yang dipegang, terganggu oleh perbuatan orang lain, yang bersifat menguasai juga, tetapi tidak dengan paksaan.

Hak Orang Tetangga (Burenrecht = Hukum bagi Orang-orang Tetangga)
Peraturan B.W. yang mengenai orang0orang tetangga diantara orang-orang tetangga diantara pemilik-pemilik pekarangan. Adalah contoh dari perakitan yang berumber melulu dari undang-undang.
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat. Orang-orang ini dalam hidupnya sehari-hari selalu bergaul satu sama lain. Pergaulan ini sudah sewajarnya sering terlihat diantara orang-orang pemilik pekarangan, yang saling merupakan tetangga satu sama lain. Orang-orang satu sama lain mempunyai berbagai kepentingan dalam menggunakan pekarangan. Namun, kepentingan tersebut tidak selalu dapat dipuaskan dengan tidak memperkosa kepentingan tetangga.

Karena itu, dengan sendirinya harus diakui bahwa ada kepentingan seseorangan maka seharusnya dibatasi dalam hal memuaskannya, disinilah terletak prinsip saling harga menghargai terhadap pelbagai kepentingan tetangga sehingga lahirlah lalu llintas kesusilaan ini diantara orang-orang tetangga, lalu lintas kesusilaan ini menciptakan pelbagai larangan dan/atau suruhan untuk melakukan suatu hal.

Pada umunya, kalau seorang tetangga dengan sengaja melanggar lalu lintas kesusilaan ini, dan ia dengan pelanggaran itu merugikan orang lain, maka orang itu sudah dapat digugat didepan hakim.

Pembebanan Pekarangan (“efdientbaarheden,” “servituten”)
Pembebanan pekarangan ini oleh pasal 674 ayat 1 B.W. disebut sebagai suatu beban, yang diletakkan pada sebidang pekarangan untuk pemakaian untuk keperluan pekarangan lain, milik orang lain. Ayat 2 menekankan, bahwa pembebanan ini tidak boleh diadakan kepada perseorangan dan juga tidak boleh diadakan untuk keperluan perseorangan. Penyebutan arti semacam ini, mengakibatkan adanya suatu hak perbedaan yang tidak diberikan kepada manusia atau kepada badan hukum, melainkan kepada suatu benda, yaitu kepada sebidang pekarangan yang disebut sebagai pekarangan yang menguasai, sedangkan pekarangan yang mendapat beban disebut dengan pengarangan yang menderita atau yang mengabdi.

Hak Erfpcht
Hak erfpcht dalam pasal 720 B.W. digambarkan sebagai hak untuk menikmati hasil dari sebidang tanah milik orang lain secara luas-luasnya, dengan kewajiban membayar setiap tahun sejumlah uang atau sejumlah hasil bumi kepada pemilik tanah selaku pengakuan hak eigendom pemilik itu.
Jadi, seseorang yang menikmati hasil dari sebidang tanah yang dimiliki seorang eigendom harus membayar sejumlah uang atas hasil dari sebidang tanah tersebut, ia hanya membayar kepada pemilik tanah tersebut tanpa harus membayar pajak kepada Negara. Karena, pajak tersebut dikenakan kepada pemilik tanah tersebut sesuai diatur dalam UU N0.12 tahun 1995.

Hak Opstal
Pasal 711 B.W. mulai dengan mengatakan, bahwa hak postal adalah suatu hak perbedaan untuk mempunyai rumah-rumah, bangunan dan tanaman-tanaman diatas tanah milik orang lain.
Sama halnya dengak hak erfpcht, namun pembebanan PBB dibayarkan oleh orang yang menggunakan rumah-rumah, bangunan dan tanaman-tanaman tersebut. Bukan orang yang memilikinya yang membayar,

Hak Vruchtgebruik (Hak Memungut Hasil)
Menurut pasal 756 B.W. hak memungut hasil ini adalah suatu hak perbendaan untuk memungut hasil dari suatu benda, seolah-olah mempunyai hak eigendom atas barang itu, asal saja jangan sampai barang itu musnah. Perbedaan dengan hak efrpcht hanya terletak pada tanah dan barang lain yang tak bergerak, sedangkan hak vruchgebruik dapat mengenai barang bergerak. Dan perbedaan yang lebih penting terdapat pada pasal 807 B.W. bahwa hak ini tidak dapat diwarisi.

Hak Pengurus Barang (Bewindvoerder)
Adakalanya seorang pihak ketiga ditentukan untuk mengurus barang-barang yang berada dalam pembebanan hak vruchtgebruk, yaitu:
  • Apabila ditentukan pada terbentuknya hak vruchtgebruik oleh si pemberi hak vruchtgebruik dalam surat hibah wasiat atau dalam membentuk persetujuan antara si pemilik dan si pemungut hasil.
  • Apabila itu ditentukan oleh Hakim, kalau si pemungut hasil yang tidak mengadakan jaminan (pasal  786) atau kalau ia mengecewakan dalam hal mempergunakan hak vruchtgebruik secara merusak barang atau membiarkan barangnya tidak terpelihara (pasal 815 atau pasal 816 B.W.)

Hak Memakai dan Mendiami (gebruik en bewoning)
Disebutkan dua hal, yaitu memakai dan mendiami. Tetapi sebetulnya yang dimaksudkan ialah hak memakai saja. Kalau hak ini mengenai rumah kediaman, maka hak memakai ini dinamakan hak mendiami. Untuk mudahnya hanya disebut hak memakai saja.

Bunga Tanah
Menurut pasal 737 B.W. bunga tanah ini adalah suatu kewajiban seorang pemilik tanah untuk membayar setiap jangka waktu tertentu sejumlah uang dan sejymlah hasil bumi, selaku bunga kepada orang lain. Hak orang lain itu, akan membayar bunga ini, menurut pasal 739 B.W. melekat pada tanah. Artinya, tetap berada, meskipun  tanahnya dijual kepada orang ketiga. Jada, sipembeli tanah juga berkewajiban untuk melakukan pembayaran bunga itu.

Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat
Undang-undang Darurat tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh Rakyat no. 8 tahun 1954 yang mulai berlaku pada tanggal 12-6-1954 memungkinkan hak atas suatu tanah perkebunan dicabut oleh pemerintah dengan pemberian ganti kerugian yang ditetapkan. Kemudian diberikan dengan satu hak kepada “rakyat dan penduduk lainnya,” yang memenuhi syarat, menurut ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria (pasal 11). Tindakan seperti ini dimaksudkan akan dilakukan di daerah-daerah, dimana tanah-tanah perkebunan de facto dikuasai oleh rakyat. Dalam hal ini menurut Undang-Undang Darurat tersebut, semua harus dirundingkan dulu antara Pemilik Perkebunan dan Rakyat tentang penyelesaian soal pemakaian tanah itu secara damai. Kalau itu tidak mungkin maka pemerintah akan bertindak.


  
BAB 4

Hukum Perikatan dan Perjanjian
1.      Perihal Perikatan dan Sumber-sumbernya
Yang dimaksud dengan “perikatan” ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak yang berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang “debitur”. Adapun barang yang dapat dituntut disebut dengan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa:

1)      Menyerahkan suatau barang
2)      Melakukan suatu perbuatan
3)      Tidak melakukan suatu perbuatan

Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang, diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.

Hukum Hibah Daerah itu sendiri juga menimbulkan suatu perikatan. Yang mana sudah dijelaskan bahwa “perikatan” ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya. Begitu juga halnya dengan Hibah Daerah, dimana Pemerintah (Presiden) sebagai pemberi Hibah dan Pemerintah Daerah sebagai penerima Hibah sebagaimana telah diatur dalam PP No. 57 tahun 2005.

2.      Macam-macam Perikatan
a)      Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
b)      Perikatan yang Digantungkan Pada Suatu Ketetapan Waktu (Tijdsbepaling)
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya.
c)      Perikatan yang Membolehkan Memilih (Alternatif)
Suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.
d)      Perikatan Tanggung Menanggung (Hoofdelijk atau Solidair)
Suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang yang bersama-sama menghadapai satu orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu dari mereka melunasi hutang maka pelunasan tersebut juga membebasi yang lainnya.
e)      Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula pada kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka. Jika salah satu pihak telah digantikan oleh beberapa orang lain. Biasanya dapat terjadi karena meninggal maka menyebabkan ia digantikan oleh ahli warisnya.
f)       Perikatan dengan Penetapan Hukuman
Untuk mencegah si berhutang melalaikan kewajibannya, maka dalam perjanjian dinyatakan bahwa bila si berhutang melalaikan kewajibannya maka akan dikenakan hukuman.

Begitu pula Hukum Hibah Daerah, dimana dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dicantumkan Sanksi atau hukuman sesuai dengan kesepakatan apabila pihak ke dua yaitu sipenerima hibah melanggar pasal yang tertera di dalam NPHD. NPHD bersumber dari dalam negri yang mana isi dari NPHD sekurang-kurangnya memuat tentang: Tujuan Hibah; Jumlah Hibah; Sumber Hibah; Penerima; Persyaratan Hibah; Tatacara Penyaluran Hibah; Tatacara Penggunaan Hibah; Tatacara Pelaporan dan Pemantauan Hibah; Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Hibah; Sanksi Hibah.

3.      Syarat-Syarat untuk Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan empat syarat, yaitu:

1)      Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
2)      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3)      Suatu hal tertentu.
4)      Suata sebab yang halal.

Suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

·         Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat mereka yang mengikatkan diri, bahwa orang telah memberikan persetujuan atau sepakatnya kalau orang memang menghendaki apa yang disepakati, kalau demikian sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki.

Persoalan yang sering dikemukakan dalam hubungan ini adalah kapan saatnya kesepakatan itu terjadi. Persoalan ini sebenarnya tidak akan timbul apabila para pihak yang membuat perjanjian itu pada suatu sepakat, tetapi nyatanya dalam pergaulan hukum masyarakat tidak selalu demikian melainkan banyak perjanjian terjadi antara para pihak melalui surat menyurat, sehingga menimbulkan persoalan kapan saatnya kesepakatan itu terjadi, hal ini penting dipersoalkan sebab untuk perjanjian yang tunduk pada asas konsesualitas saat terjadinya kesepakatan merupakan terjadinya perjanjian.

4.      Pembatalan Suatu Perjanjian
Dalam syarat-syarat sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa, apabila satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum. Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian tersebut. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Maka salah satu pihak tidak dapat menuntut didepan hakim karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan untuk menyatakan bahwa tidak pernah ada perikatan atau perjanjian.

Apabila, dalam membuat perjanjian ada yang kurang mengenai syarat subjektif  maka perjanjian itu bukan batal demi hukum namun dapat diminta pembatalannya oleh salah satu pihak.
Tentang suatu perjanjian yang tidak mengandung suatu syarat tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh kedua belah pihak.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak ada ketentuan yang memberikan pembatasan tentang hibah yang diberikan si pemberi hibah sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Pada prinsipnya hibah yang telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan, kecuali dalam hal-hal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1688 KUHPerdata, yaitu:
  1. Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah
  2. Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri.
  3. Jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya

5.      Saat dan Lahirnya Perjanjian
Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik terjadinya setuju atau sepakat antar dua belah pihak mengenai suatu hal. Sepakat adalah persesuaian paham dan kehendak antar kedua belah pihak.

6.      Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah sebuah peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana kedua orang atau lebih telah berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Perjanjian-perjanjian dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1)      Perjanjian untuk memberikan menyerahkan suatu barang.
2)      Perjanjian untuk membuat sesuatu.
3)      Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

7.      Wanprestasi
Apabila si berhutang tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka disebut dengan “wanprestasi”. Atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan sesuatu yang tudak diperbolehkan dalam perjanjian. Wanprestasi debitur dapat berupa empat macam, yaitu: 
1)      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2)      Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
3)      Melakukan apa yang dijanjikannya namun terlambat.
4)      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjiannya tidak boleh dilakukannya.

Terhadap kealpaan atau kelalaian siberhutang, maka ia akan dikenakan sanksi atau hukuman.

8.      Cara-cara Hapusnya Suatu Perikatan
Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara menghapuskan suatu perikatan. Cara-cara tersebut yaitu:
1)      Pembayaran.
2)      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan.
3)      Pembaharuan hutang.
4)      Perjumpaan hutang atau kompensasi.
5)      Percampuran hutang.
6)      Pembebasan hutang.
7)      Musnahnya barang yang terhutang.
8)      Kebatalan atau pembatalan.
9)      Berlakunya suatu syarat batal.
10)  Lewatnya waktu.


Referensi:
Buku Aspek Hukum Dalam Ekonomi ()